Oleh : Askolani Nasution
Budayawan/Sutradara
Kalau ada rasa kekuasaan yang bisa dikecap di lidah, saya yakin rasanya asin seperti garam. Sebab, ketika Anda menapakinya selalu butuh jalan yang sulit. Bahkan ketika Anda menggenggamnya, jauh lebih sulut lagi menungganginya. Sekali Anda tergelincir, bukan hanya butuh lima tahunan untuk menaikinya lagi, Anda juga bisa kehilangan seluruh keramahtamahan dari para kacung yang dulu mendudukkan Anda seperti dewa.
Tentu saja. Hal tersulit dalam kehilangan kekuasaan adalah rontoknya pujian, teguran basa-basi, tepuk tangan palsu, dan keramahan palsu dari mereka yang hidupnya dari pemujaan. Padahal, itu yang rasanya manis dan acapkali memabukkan. Maka, dikisahkan juga dalam kitab-kitab mazmur, betapa ketika Tuhan menciptakan manusia, para setan yang pertama protes. Sebab, segala sifat haus duniawi itu melekat pada makhluk ciptaan baru itu.
Kata orang, kekuasaan itu tak ada cukupnya. Ia seperti minum air laut. Makin banyak diminum, makin haus. Selalu ada keinginan untuk menumpuk kekuasaan hingga menjadi surplus.
Begitulah dalam setiap putaran pilkada, setiap kelompok kekuasaan membangun faksinya. Masing-masing ada benderanya. Bendera itu ikon pembeda. Juga bagian dari jargon. Seolah-olah kalau tanpa jargon, Pilkada tidak syah. Ya kan? Mana ada yang tanpa jargon.
Jargon itu cara kita mengkemas maksud (terselubung). Seakan-akan sebuah jargon akan menyihir setiap orang untuk masuk ke dalam kerumunan itu. Padahal ia memang hanya kerumunan yang terbentuk sesaat menjelang Pilkada, bukan bangunan ideologi yang ditumbuhkan dengan sistem kader.
Politisi kita nyaris tanpa kader. Itulah yang hilang dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, terutama di daerah. Soekarno, Agus Salim, itu kader Cokroaminoto. Adam Malik, Chairul Saleh, itu kader Soekarno. Dan seterusnya, akan sangat panjang kalau dipreteli. Sebagai kader, mereka tumbuh dewasa dengan jepitan ideologi yang khusuk. Mereka juga dibesarkan ideologi itu.
Sekarang? Orang tumbuh atas simbiosis mutualisme saja. Ukurannya keuntungan timbal balik, bukan kesamaan cara pandang, apalagi ikatan ideologi. Bahkan para kader yang direkrut menjelang pendaftaran pilkada, misalnya, tak butuh kesamaan ideologi. Ia hanya dibutuhkan untuk mengatakan “yes” saja, mampu mendistribusikan pilihan, mengelola dukungan untuk hari pencoblosan, dan tentu dengan hitungan distribusi keuangan yang terukur.
Tentu saja. Paslon juga tak punya ideologi. Karena itu partainya bisa apa saja. Partai dalam konteks Pilkada seperti mencari pendamping pengantin untuk hari-H pesta pernikahan saja. Terserah siapa, yang penting mau. Karena ia bukan pasangan yang akan dipakai sehabis pesta nikah selesai.Dan ini, namanya pendamping pengantin, ya wajar dong minta dikasih upah harian. Sebab, begitu pengantin naik ranjang, mereka yang pertama dibuang.
Namanya pendamping pengantin, pengunjung pesta juga tidak peduli. Mau baju merah, kuning, hijau, emang gua pikirin. Semua tahu, mereka tidak sedang menyalami pendamping pengantin, tetapi pengantinnya. Tidak akan ada yang menanya agama pendamping pengantin, pernah maling atau tidak, karena memang tidak untuk dianggap. Ia hanya jumlah yang mesti dicukupkan: delapan kursi di DPRD Madina.
Lalu panggung akan dikemas. Makin besar iring-iringan, makin gagah di foto. Dan dalam dunia maya sekarang, foto seolah-olah akan membentuk citra baru, kemasan baru, dan diyakini soliditasnya sampai ke bilik suara. Karena keyakinan itu, banyak kandidat kaget ketika dihitungan akhir suara mereka kalah, padahal mereka pemilik kerumunan paling waw. Mereka lupa bahwa, itu yang di foto, hanya kerumuman yang dibentuk sesaat, tanpa ikatan ideologi. Namanya kerumunan, ia tidak bisa diikat oleh apa pun.
Beda masa pra kemerdekaan dulu. Begitu diumumkan Cokroaminoto akan berpidato di rapat akbar, orang-orang akan berdatangan, ada atau tidak jangung rebus sebagai cemilan. Karena orientasinya pendidikan politik, memahat kecerdasan bernegara, menguatkan kesadaran berbangsa, perasaan senasib sepenanggungan, dan seterusnya. Tidak ada yang berpidato sambil mengatakan: “Pilihlah Aku!”. Kalau kita menang akan bla…bla..bla….
Pemimpin politik pada waktu itu pengakuan sosial. Ia tidak butuh jumlah suara coblosan untuk disebut pemimpin. Mereka juga tak membayar orang untuk dicoblos, misalnya. Mereka hanya menumbuhkan kepercayaan sosial bahwa bersama mereka hidup setiap orang akan lebih baik.
Orang juga melihat ketulusan mereka. Orang tahu, kalau Soekarno menjilat kekuasaan, ia bisa amat kaya. Karena ia insiyur teknis yang hanya terhitung dengan jari jumlahnya. Tapi mereka memilih hidup miskin. Dan orang tahu, memang mereka semua miskin. Hatta, Agus Salim, makan saja susah.
Sekarang? Semua bisa menghitung betapa kekuasaan alat untuk mengumpulkan kekayaan. Menjadi pemimpin artinya menjadi punya kekuasaan untuk masuk ke akses-akses pendapatan personal. Semua tahu tentang itu, dan karena itu semua ngiler melihat daya tarik itu. Dan karena itu juga politisi tidak ragu untuk berinvestasi.Seakan-akan sebuah wilayah kekuasaan politis sama dengan wilayah dagang. Seolah-olah memimpin sama artinya dengan membangun perusahaan baru, ada cost, ada event break point, aba laba bersih, dan seterusnya. CSR-nya juga sudah dihitung. Itu yang akan dibagi-bagi untuk semua pendukung.
Dengan konsep itu kita menerjemahkan demokrasi politik. Dan makin tinggi jabatannya, makin mahal maharnya, dan makin besar benefit keuntungan, makin banyak para pemuja, makin banyak foto kita di media, makin banyak karangan bunga, makin banyak nyanyian, dan seterusnya.
Dengan itulah para tiran melebarkan cakar kekuasaannya: Fir’aun, Nero, Hitler, Stalin, Mussolini, Castro, dan seterusnya.
Tapi dapatkan kekuasaan memberi kepuasan pada manusia? Ketika sampai pada puncaknya, ia seperti orgasme. Hilang gairah untuk hidup. Maka, begitulah Nero, penguasa Romawi,ketika seluruh kekuasaan sudah ditangannya, ia malah mengabrasi dirinya sendiri. Ia bisa punya semua, tapi ia kehilangan cinta pada gadis pencari kayu bakar, kekasihnya sebelum berkuasa dulu. Ia akhirnya berdiri di bukit Roma, lalu membakar kota Roma.
Api itu, adalah metafora betapa ketulusan seorang gadis pencari kayu bakar jauh lebih berharga dari sebuah kekuasaan yang surplus. Itu juga yang dirasakan Don Corleone, bos mafia dari Sisilia di film “The God Father”. Gangster berhati dingin itu pada akhirnya menangis di depan jasad putrinya yang tertembak, menyadarkan hari tuanya, betapa sebuah kekuasaan bisa membeli apa saja, tapi ia tidak bisa membeli ketulusan.
Di akhir hidupnya, Don Corleone duduk di bawah kayu, angin menghembuskan daun-daun gugur, dan lalu lelaki itu terguling dari kursi roda, jatuh di dekat anjingnya. Anjing itu menggonggong, tapi tak mampu menolongnya.***
Penulis tinggal di Mandailing Natal, Sumut