Catatan : Dahlan Batubara
Hari panen Lubuk Larangan adalah hari meriah. Orang-orang selalu berjibun ruah di sepanjang aliran sungai dan tepian sungai.
Sejak pukul 6 hingga 7 pagi, ratusan sepeda motor akan menderu-deru di sepanjang jalan raya menuju desa yang memanen Lubuk Larangan.
Sepeda motor-sepada motor itu dikendarai para penangkap ikan yang membawa jala, aup dan tamburan (tempat ikan).
Termasuk saya yang juga pecandu Lubuk Larangan. Saking candunya, tak sabar menunggu kabar : Lubuk Larangan mana gerangan yang akan panen.
Penjualan tiket masuk ke Lubuk Larangan bisanya sudah dimulai sejak pukul 6 pagi. Yang sudah membeli tiket disebut sebagai peserta, mereka akan langusung menuju tepian sungai mencari titik lubuk yang diinginkan.
Sejak pukul 6 itu, barisan orang yang memegang jala sudah berada di tepian sungai mengggu aba-aba pantia. Aba-aba yang menyatakan start lemparan jalan. Aba-aba biasanya dengan suara petasan yang menggema.
Begitu suara petasan meletus, ratusan bahkan seribuan jala dari para peserta akan meriuhkan aliran sungai Lubuk Larangan.
Di kesempatan pertama itu, akan terlihat pemandangan yang meriah. Suara percikan air oleh hempasan rantai menjadi riuh.
Ada yang berlari ke tepian sambil merangkul jala, itu menandakan jalanya memperoleh mera (ikan jurung besar), atau jalanya memperoleh belasan jurung sehingga harus dirangkul membawanya ke tepien. Ada pula yang memperoleh pamarak atau garing godang (jurung menjelang dewasa), ada yang memperoleh garing (jurung ukuran biasa).
Bagi yang memakai aup (jala kecil yang disergapkan ke liang persembunyian ikan) akan menyelam ke dalam air mencari liang bebatuan. Saya selama ini memakai aup.
Lubuk Larangan adalah konsep pelestarian sungai dimana hanya boleh menangkap ikan pada hari yang ditetapkan oleh masyarakat desa setempat. Biasanya hanya sekali atau dua kali dalam setahun.
Setidaknya terdapat 4 kelompok orang yang meramaikan hari panen Lubuk Larangan. Pertama, penangkap ikan. Kedua pembeli ikan. Ketiga, penjual makanan minuman. Keempat, panitia Lubuk Larangan.
Keempat kelompok ini berintegrasi dalam mutualiseme ekonomi.
Para penangkap ikan membeli tiket kepada pantia. Penjual makanan minuman menjual dagangan di lokasi Lubuk Larangan. Para pembeli ikan membeli ikan kepada para penangkap ikan.
Hasil penjualan tiket, sebagian untuk upah panitia, sebagian lainnya biasanya diperuntukkan untuk pembiayaan sosial di desa setempat. Untuk masjid, anak yatim, jompo.
Berdasar amatan saya. Jumlah pecandu Lubuk Larangan untuk kawasan Mandailing Julu dan Mandailing Godang itu mencapai sekitar 2.000 orang. Mereka ini selalu menunggu lubuk larangan yang akan panen. Istilah di Mandailing “mambuka lubuk larangan”.
Tetapi 2.000 orang itu tak semua selalu hadir di Lubuk Larangan tertentu. Faktornya, mereka juga mempertimbangkan mana lubuk larangan yang memiliki banyak ikan, mana yang sedikit.
Oleh karena itu, ada lubuk larangan yang panitianya hanya berhasil menjual sekitar 500 tiket. Ada yang mencapai 800 tiket. Ada yang berhasil menjual 1.500 tiket. Ada juga yang cuma sekitar 300 tiket. (bersambung)